Capek, lelah dan mungkin muak, itulah kata tak terucap dari bibir mengering rakyat Indonesia. Beberapa bulan lagi rakyat kita akan mengikuti hajatan akbar negeri ini. "Pesta Demokrasi", pesta untuk rakyat?, katanya. Entahlah, disaat ribuan orang yang mengaku pembela rakyat, menghamburkan uang untuk komunikasi politik, guna meraih kursi dewan, wakil presiden hingga presiden. Anak-anak tidak bisa sekolah kian bertambah, mereka terpaksa menjadi pemulung, pengemis, pengamen bahkan melakukan tindakan melanggar hukum. Sehingga kadang harus adu kencang lari dengan petugas Trantib.
Rakyat Indonesia, utamanya yang hidup dibawah garis kemiskinan, dipaksa untuk menjadi warga Negara yang baik dengan memberikan suaranya kepada para calon wakil rakyat dalam Pemilu nanti. Bentuk paksaan yang terakhir adalah saat kumpulan orang yang mengaku Ulama “orang-orang berilmu”, diminta kalangan politisi untuk menandatangani bahwa Golput itu haram.
Rakyat harus menyisihkan waktunya untuk mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS), untuk memberikan suaranya. Waktu yang dialokasikan oleh rakyat, berarti juga menyisihkan waktu untuk bekerja. Bagaimana jika rakyat tersebut hanya seorang buruh harian, dengan pendapatan Rp 30 ribu.
Terkadang, jika kebetulan yang ia pilih menang. Ia harus menghadapi amarah tetangganya, karena beda. Contoh beberapa daerah yang rebut pasca Pilkada adalah Makassar Dan Ternate. Lucunya, ada juga yang masih keluarga, gara-gara beda pilihan tidak baku omong.
Kenapa haram?, dan kenapa Golput?.
Haram, karena kita dianggap sebagai warga Negara Indonesia, oleh kalangan politisi, paling tidak menjelang pelaksanaan Pemilu ataupun Pilkada. Baru-baru ini Prabowo Subianto mengumumkan dana kampanyenya yang mencapai lebih Rp 30 milliar. Saya tidak hafal berapa hasil audit dana kampanye Sutrisno Bachir.
Itu baru dana kampanye dua Capres, ada puluhan Capres yang sudah menyetakan siap bertanding pada Pemilu 2009. Hitung kasar saja ada 10 capres, masing-masing capres menghabiskan Rp 20 milliar, jika ditotal uang yang terhambur untuk komunikasi politik sudah sebesar Rp 100 milliar.
Angka tersebut belum dihitung dengan berapa jumlah Caleg dari tingkat kabupaten, kota, provinsi hingga DPRRI, ditambah lagi dengan calon DPD, belum lagi dana kampanye Pilkada, kemudian dikali lagi dengan puluhan partai yang ada. Berapa jumlahnya?, sangat buuanyak sekali. Bagaimana yang menyebutnya, kalau dalam tata bahasa jawa buuuaaaanyak itu jamak dari jamaknya kata banyak, nah saking banyaknya bingung to?.
Seandainya uang sebuuuaaanyak itu digunakan untuk membangun unit-unit lapangan kerja, tentunya pemerintah tidak akan kebingungan mengantisipasi lonjakan jumlah pengangguran akibat krisis global, yang mungkin puncak pertambahan jumlah pengangguran itu pada tahun 2009 nanti.
Apa jaminan pemilu itu untuk rakyat?
Setiap kali menjelang pemilu, kata yang keluar dari bibir caleg dan capres terasa manis. Meski saya tidak pernah ngenyot ataupun ngemut bibir para caleg dan capres, paling tidak indah di telinga rakyat.
Program pembangunan, baik dari tingkat pusat hingga daerah direncanakan di DPR. Jika di daerah program pembangunan masing-masing dilaksanakan oleh instasi terkait melalui pihak ke tiga, ke empat dan seterusnya.
Malahan suatu ketika saat saya meliput di Kantor Walikota Palu, saya bertemu dengan salah seorang suami dari anggota DPRD Kota Palu berada di salah satu instansi. Begitu ia melihat saya , ia nampak gugup dan tidak berapa lama kemudian ia ngacir, Ia tahu saya wartawan.
Artinya, di dewan banyak peluang cari duit, tahu proyek apa, dimana, kapan dan berapa anggaran. Jika memang mereka bertarung dalam kampanye untuk rakyat. Rakyat tak perlu dibujuk-bujuk lewat gambar di televisi, stiker yang ditempel di pagar, pot bunga, tiang telepon, tiang listrik atau dimana saja.
Apakah pemimpin merakyat , lahir lewat stiker, baliho, bendera atupun lewat koar-koar dimimbar. Nabi Muhammad jadi pemimpin dunia lewat pembelaan nyata terhadap kaum papa.
Soekarno jadi proklamator dan pemimpin bangsa ini lewat pertarungan hebat melawan bangsa asing. Lenin, meskipun gila juga bertarung lewat kerja keras. Rakyat kenal Soekarno saat melihat fotonya di koran melobi bangsa penjajah. Rakyat dengar suara Soekarno saat ia sedang adu argumen untuk kemerdekaan negara ini.
Apa salahnya golput, meski diharamkan MUI, ulama MUI juga manusia.
Jumat, 19 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar