03 Maret 2006
Putusan MA yang memenangkan TEMPO tidak bisa serta-merta menjadi yurisprudensi dan diikuti oleh hakim-hakim lainnya.
Putusan Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan Pemimpin Redaksi TEMPO
Bambang Harymurti ternyata tidak cukup melegakan bagi kalangan pers
secara umum. Mereka menginginkan jaminan yang lebih pasti agar
kedepannya hakim-hakim lain juga mengikuti langkah majelis hakim agung
perkara TEMPO yang mengedepankan penerapan UU No. 40/1999 tentang Pers.
Demikian terungkap dalam Diskusi Publik Aliansi Jurnalis Indonesia
(AJI) "Masa Depan UU Pers Pasca Putusan MA" (2/3). Salah satu
pembicara, pengamat hukum dan pers Afnan Malay mengatakan MA perlu
menerbitkan surat edaran (SEMA) yang menginstruksikan agar seluruh
hakim mengutamakan penggunaan UU No. 40/1999 dalam menangani perkara
pers, bukan lagi KUHP.
Menurut Afnan, SEMA ini perlu dikeluarkan karena sebagai penganut
sistem hukum Eropa kontinental yang merupakan warisan kolonial, di
Indonesia, suatu putusan hakim tidak serta-merta dapat menjadi
yurisprudensi, dan kemudian diikuti oleh hakim-hakim lainnya.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Guru Besar UI Indriyanto Seno
Adji. Dihubungi via telepon, Indriyanto mengatakan Indonesia tidak
menganut case law sebagaimana negara-negara yang menganut sistem
common law. Artinya putusan-putusan hakim tidak bisa dijadikan sebagai
hukum sehingga tidak mengikat bagi hakim.
Terkait wacana penerbitan SEMA, Indriyanto menyatakan tidak setuju
karena penerbitan SEMA akan membatasi kebebasan hakim. SEMA seharusnya
hanya berfungsi sebagai petunjuk dan arahan serta tidak mengikat hakim.
"Hakim diberi kebebasan, apakah hakim nanti akan mengikuti SEMA itu
atau tidak, itu adalah kebebasan hakim," tandas Indriyanto yang juga
dikenal sebagai ahli hukum pidana.
Diluar itu, Indriyanto berpendapat tindakan sejumlah hakim yang selama
ini lebih mengedepankan KUHP, dapat dipahami karena banyak perbuatan
yang berkaitan dengan pers dapat dipandang sebagai tindak pidana
tetapi diatur dalam UU No. 40/1999. salah satu contohnya adalah tindak
pidana pencemaran nama baik.
"Dalam perkara pencemaran nama baik tidak diatur dalam UU Pers, adanya
dalam KUHP, jadi tidak ada lex specialis (aturan khusus, red.)," ujar
pengajar mata kuliah media massa pada program pasca sarjana UI ini.
Dewan Pers
Afnan mengatakan selain perlu diterbitkannya SEMA, yang tak kalah
penting adalah penyamaan visi di kalangan penegak hukum dalam
penanganan perkara pers. Disamping itu, lanjutnya, masyarakat perlu
diarahkan untuk mengikuti mekanisme yang diatur dalam UU No. 40/1999
apabila ada pemberitaan media yang menyalahi Kode Etik Jurnalistik.
Berdasarkan UU No. 40/1999, seseorang atau sekelompok orang yang
merasa dirugikan nama baiknya karena suatu pemberitaan dapat
menggunakan hak jawab yang harus dilayani oleh media yang
bersangkutan. Selain hak jawab, masyarakat juga dapat menggunakan
Dewan Pers yang salah satu tugasnya adalah menetapkan dan mengawasi
pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Dewan yang diketuai oleh Ichlasul
Amal ini juga memiliki tugas memberikan pertimbangan dan mengupayakan
penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan
dengan pemberitaan pers. (Rzk/M-1)
Sumber: Hukumonlie [2/3/06]
Senin, 08 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar