Kamis, 06 November 2008

Menulis untuk Hidup, Bisakah?


Beberapa waktu yang lalu, ada secuplik perbincangan yang masih
menggema di telinga saya hingga sekarang. Saya bercakap dengan
seorang kawan seperjuangan yang sama-sama berkutat di bidang tulis menulis. Pertanyaan yang terlontar adalah, bisakah hanya dengan
menulis dipakai untuk sandaran hidup?
Hmm…pertanyaan ini tidak bisa dijawab “YA” atau “TIDAK” dengan
mudahnya. Ada standar dan faktor tertentu yang mengikutinya.
Seperti, standar hidup macam apa yang ada di kepala masing-masing?
Dan menulis untuk apa/lembaga manakah?
Faktor yang lebih penting mungkin yang kedua. Faktor pertama, bisa
jadi sangat relatif. Sedangkan faktor yang kedua bisa menjadi
penentu. Jika Anda menulis untuk media massa besar, maka tentu saja
jawabannya menjadi cenderung “IYA”. Tetapi jika pekerjaan menulis
itu dilakukan oleh kami-kami yang berjuang di wilayah freelance
ini, maka mesti rajin-rajin mengejar proyek untuk bisa bertahan
hidup, apalagi bagi yang sudah berkeluarga.
Beruntung sekali jika mendapatkan proyek yang berharga tinggi. Bisa
sekali tepuk, maka hajat hidup beberapa bulan terpenuhi. Namun,
hidup kan tak selalu seperti tokoh Untung di Donald Bebek. Kadang
mesti bertahan juga dengan proyek kerja bakti tapi mampu membuat
hidup terus berpendar.
Bagi saya sendiri, memang harus jujur diakui sebagian pundi-pundi
didapatkan dari menulis. Mulai dari script hingga buku. Semuanya
alhamdulillah pesanan. Tapi saya sadar, ke depan, tidaklah mudah
untuk terus bertahan hanya dengan menulis. Pengembangan kemampuan
lain yang seiring dengan dunia tulisan rasanya perlu dilakukan.
Karena itu saya tidak ingin naif untuk jumawa bilang bahwa hanya
dengan jualan tulisan bisa untuk sandaran hidup. Perlu serangkaian
langkah-langkah pintar daripada sekadar jualan tulisan.
Bisa jadi yang dijadikan basic adalah aktivitas menulisnya. Tetapi
soal kemasan, soal marketingnya, itu semua perlu terus dikembangkan
dari sekadar duduk di belakang komputer. Bagaimana pengembangannya?
Tentu tidak ada rumusan yang baku. Saya yakin, semua belajar dari
pengalaman, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain.
Bagi pekerja freelance, kata networking menjadi teramat penting
untuk bertahan dengan profesi sebagai penulis. Networking bagi saya
artinya tidak hanya soal memarketkan diri kepada klien atau calon
klien. Networking untuk Lisa Febriyanti, berarti menjalin hubungan
baik juga dengan sesama penulis atau kawan-kawan yang mempunyai
otak brilian sebagai narasumber. Buat apa? Tentu saja karena tugas
penulis bukan hanya menyalurkan yang ada dalam otaknya sendiri.
Penulis juga masih perlu banyak belajar, baik dari sesama penulis,
maupun teman-temannya yang lain. Buka wawasan agar materi tulisan
tak berhenti sampai batas pemikiran diri sendiri. Tak pernah
berhenti belajar, dari siapa saja.
Ujung-ujungnya, jika tulisan kita mampu berkembang untuk ranah apa
saja, tentu saja portfolio kita makin banyak dan pesanan mudah-
mudahan jadi lancar.
Terlepas dari pertanyaan apakah menulis bisa untuk hidup, saya
pribadi lebih suka membuat pernyataan bahwa saya hidup untuk
menulis. Menyitir frase ngetop milik Descartes dengan sedikit
modifikasi: “Aku menulis, maka aku ada”

Selamat menulis dan terus mewarnai dunia dengan kata-kata

::ketika mulut tak lagi bisa bicara, maka tulisan yang telah

kurangkai untukmu adalah monumen keabadian::
(Lisa Febriyanti-from:ladang bahasa)