Selasa, 25 November 2008

Maafkan Aku Sayang


Sebuah anekdot di masyarakat Kota Palu. Tentang orang mati gara-gara sakit panu. Ceritanya waktu penderita Panu mau beli obat, menyeberang jalan, tiba-tiba disambar mobil kontainer. Ya jelas penyok lah.
Panu memang menganggu. Gimana tidak, kulit yang putih mulus jadi kelihatan putih kusem, orang jawa bilang mbludhuk, orang Palu bilang bakado.
Amit-amit dech, lebih parah kalau kulitnya item. Bagus kalau putihnya panjang melingkar teratur di tubuh, kayak zebra jadinya. Tapi kalau tidak merata kayak macan tutul, ampun. Parahnya lagi biasanya yang terkena kalangan ekonomi menengah kebawah. Dan orang jarang mandi, untungnya meski saya sehari hanya satu kali mandi, kadang dua kali, kalau sore hari lagi inget mandi. Kulitku yang memang tidak terawat tidak ada panu-nya. Maklum, kalau sudah capek memburu berita dan ngetik berita, dah lupa mandi.
Yang pasti akibat jarang mandi badan bisa loyo, kurang gairah, eh sori semangat...
Belang-belang Panu memang mengganggu dan memalukan.
Apalagi belang-belang yang sudah lama menganggu wajah negeri kita ini. Sudah sekian puluh tahun negeri kita dibuat malu, oleh belang-belang korupsi, kemiskinan serta ketertinggalan.
Memang bikin malu, saking malunya anak negeri karena belang itu. Kini anak bangsa ramai-ramai meramu salep. Saat ini ada sekitar 38 jenis salep bernama partai.
Bukannya menghilangkan Panu, salep itu malah memperpanjang Panu di wajah negeri. Partai bukannya membuat wajah negeri ini semakin cerah dan mulus. Yang terjadi justru semakin buram.
Lihat saja, uang yang seharusnya bisa dipakai untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita. Hanya dipakai untuk menjual gambar sang politikus dan partainya. Melalui tayangan iklan di telivisi, stiker, bendera hingga omong kosong dibungkus aksi sosial.
Semua mengatakan, “Akulah salep paling manjur untuk mengobati Panu di wajah bangsa ini”.
Contoh paling nyata, setelah 63 tahun bangsa ini bebas dari cengkeraman Negara kolonialis. Bapak dan ibu guru kita masih hidup dalam kemiskinan. Bahkan berita di siaran telivisi, bersaing dengan iklan partai.
Ada guru yang jadi pemulung, jadi tukang becak, bahkan ada yang terpaksa mencuri. Hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Padahal, mungkin saja, politisi pemasang iklan itu dulu di didik dan diajari ilmu oleh mereka.
Belum lagi, uang yang sebenarnya bisa digunakan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi kerakyatan. Terpaksa digunakan untuk membiayai konstituen untuk demonstrasi, karena kecewa dengan hasil Pemilu.
Masih banyak lagi, hal-hal yang tidak bisa membantu percepatan proses memuluskan negeri ini, supaya bertambah cerah. Tetap dilakukan, semua untuk apa.
Berbuat Saja Tak Usah Gembar-Gembor
Meskipun ada juga partai dan politisi yang menggunakan agama sebagai Jubah dan Topeng. Kalau tidak salah, dalam agama Islam ada kisah dari Khlaifah Umar bin Khatab, meski temperamental, ia sangat peka terhadap rakyatnya.
Ambil contoh, saat ia melakukan peninjauan langsung kelapangan. Melihat langsung kondisi rakyatnya. Ia mendapati seorang ibu sedang merebus batu. Saat ditanya “Kenapa merebus batu…?”. “Kami tidak punya beras, saya terpaksa berbohong kepada anak-anakku yang sudah lapar, sampai mereka tertidur, dan lupa lapar,” jawab sang ibu.
Sebagai seorang pemimpin, Umar bin Khatab, menangis sesenggukan menyaksikan hal ini. Tak berapa lama ia memikul sendiri gandum dari gudang Negara. Ia antar sendiri ke keluarga miskin itu.
Begitulah gambaran seorang pemimpin. Luar biasa hebatnya, meski tak pernah menjual gambar dan kampanye di media massa. Ternyata ia begitu peka dengan kondisi rakyatnya.
Berbuat, tapi tidak untuk diperlihatkan kepada siapapun. Cukup Allah dan Rassul yang tahu.
Sekarang ini…
Beberapa bulan lalu kita dikejutkan, peristiwa meninggalnya seorang ibu yang tengah mengandung bersama dengan anaknya, akibat kelaparan.
Banyak sekolah rubuh, dimakan usia. Di Lamongan puluhan orang meninggal hanya untuk 20 ribu dari sang dermawan.
Salep macam apa yang mereka tawarkan itu…???
Brengsek…….
Foto: dari internet, lupa situsnya siapa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar